LINKQ

Minggu, 02 Januari 2011

Tentara Allah turun di Ambon

Tragedi Ambon telah lewat sebulan. Namun, asapnya masih belum pupus benar. Meski berangsur pulih, denyut kehidupan di Ambon masih belum normal. Apalagi, darah masih terus tumpah di beberapa tempat di sekitar Kepulauan Maluku. Lagi-lagi, seperti pada tragedi Iedul Fitri kelabu, korbannya kebanyakan juga kaum muslimin. Seperti diketahui, dalam prahara Ambon, kaum muslimin menjadi kebiadaban kaum kafirin. Mereka dibantai dan disiksa dengan cara amat keji. Sejumlah kaum muslimah diperkosa. Sementara puluhan ribu orang menjadi pengungsi lantaran rumah dan toko mereka dibakar. Belum lagi belasan masjid yang dihancurkan atau dibakar.

Namun tak banyak yang tahu, di tengah segala kengerian itu terjadi peristiwa-peristiwa yang menakjubkan. Allah SWT menurunkan bala tentara-Nya ketika umat Islam nyaris jadi korban. Firman Allah SWT yang turun saat perang Badar berkecamuk belasan abad silam terbukti di bumi jihad Ambon: "Ingatlah, ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabbmu, lalu diperkenankanNya bagimu. Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan sepuluh ribu malaikat yang datang berturut-turut (QS Al-Anfaal: 9)".

Kejadian-kejadian menakjubkan itu diceritakan oleh KH Abdul Aziz Arbi, MA, Imam Besar Masjid Jami' Al-Fatah, Ambon, kepada wartawan SABILI, M. Lili Nur Aulia dan Rizki Ridyasmara yang menemuinya, Ahad pagi (20/2) di Jakarta. Dalam wawancara selama satu setengah jam, Ustadz Abdul Aziz menuturkan kesaksiannya tentang turunnya bantuan Allah berupa sepasukan mujahidin cilik berjubah dan bersongkok putih. "Saya terpaksa mengungsikan istri dan kelima anak saya karena situasi Ambon yang masih sangat rawan. Tapi saya akan segera kembali ke sana", tutur alumnus Universitas Ummul Qura, Makkah, ini. Berikut uraiannya:

Ribuan Jundullah Cilik


Pada malam pertama kerusuhan Ambon, 19 Januari 1999, yang bertepatan dengan 1 Syawal 1419 H, saya berada di rumah bersama keluarga di dalam kompleks Masjid Raya Al-Fatah. Suasana malam itu terasa amat mencekam. Tiap setengah jam sekali terdengar tiang listrik dipukul bertalu-talu -tanda adanya serangan dari pihak Nasrani. Ibu-ibu dan anak-anak semuanya dicekam ketakutan yang luar biasa. Para penyerang itu menggunakan berbagai macam senjata. Mereka berteriak-teriak bengis. Itu terjadi sepanjang malam. Tak pernah berhenti. Kita hanya bisa menahan serangan mereka.
Pada malam kedua, saya dijemput dua puluh tentara Kostrad. Saya diberi tahu bahwa saya adalah orang pertama yang akan dibunuh. Saat itu terjadi penyerangan yang cukup hebat terhadap Masjid Raya Al-Fatah. Sejak malam hingga dini hari, orang-orang Nasrani itu menyerang kita secara bergelombang. Mereka bersenjatakan panah-panah api dan racun, parang, tombak, batu, kayu, besi, senapan berburu, bom molotov, hingga bom ikan. Pasukan Muslim hanya berbekal senjata seadanya: parang, kayu, batu, dan senjata apa saja yang bisa diraih. Ada kalanya kita mendesak mereka, namun sewaktu-waktu mereka ganti mendesak kita.

Sekitar pukul 24.00 hingga pukul 01.00 malam waktu setempat, umat Islam terdesak mundur. Musuh-musuh Islam, Nasrani-nasrani itu, maju hingga mencapai pagar Masjid Raya. Mereka benar-benar ingin menghancur-leburkan Masjid Raya kebanggaan kota Ambon itu. Di dalam masjid berkumpul lima ribuan pengungsi yang kebanyakan terdiri dari ibu-ibu dan anak kecil. Para penyerang itu tampak sudah sedemikian dekat dengan pagar masjid. Beberapa dari mereka bahkan telah melompati pagar. Umat Islam panik bercampur marah. Para pengungsi histeris ketakutan. Gambaran kehancuran masjid dan pembantaian pengungsi sudah terbayang di depan pelupuk mata. Keadaan sudah sedemikian gawat. Nyaris tanpa harapan.

Entah mengapa, tiba-tiba para penyerang itu berbalik dan lari terbirit-birit. Kelihatannya mereka sangat ketakutan. Kita sama sekali tidak menyangka. Sungguh kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ternyata mereka menyaksikan apa yang tidak bisa kita lihat. Ini kita ketahui melalui cerita seorang Nasrani yang berhasil ditawan: "Saya melihat ribuan kanak-kanak berusia sekitar sepuluh tahun, memakai baju dan songkok putih berlari kencang keluar dari dalam masjid ke arah kita. Seorang tua berjubah dan bersorban putih dengan tongkat di tangannya tampak memimpin pasukan itu. Jumlahnya sangat besar dan keberaniannya sangat luar biasa. Itulah yang membuat kami takut dan berbalik lari meninggalkan masjid". Subhanallah, Allahu Akbar ! Itu terjadi pada malam Kamis.


Tiupan Malaikat

Pada malam Jum'at, Masjid Al-Fatah kembali diserang. Kali ini mereka menyerang dari Jalan Baru - jalan ini terletak di depan masjid. Dengan memanfaatkan tiupan angin yang mengarah ke Masjid Al-Fatah, penyerangan dilakukan dengan membakar beberapa rumah di ujung selatan Jalan Baru. Mereka menggunakan anak panah yang menyala. Namun, ketika mereka menghujani rumah-rumah Muslim dengan ratusan anak panah berapi, panah-panah itu malah jatuh ke rumah-rumah Nasrani tetangganya. Tapi karena saat itu angin bertiup sangat kuat, rumah-rumah Muslim yang letaknya bersebelahan ikut terbakar.
Api merembet dengan cepat ke arah masjid. Tiupan angin kian mempercepat rembetan itu. Penduduk berhamburan keluar menyelamatkan diri ke Masjid Al-Fatah. Penduduk Muslim yang laki-laki bertempur di bawah kobaran api yang membubung tinggi, menahan gelombang serbuan kaum kafirin yang berusaha menerobos ke Masjid. Di Masjid, para pengungsi kembali panik. Kaum ibu berteriak histeris. Anak-anak menangis ketakutan. Hawa malam itu terasa sedemikian panas. Bercampur rasa kalut dan pasrah.

Melihat keadaan demikian, saya perintahkan semua wanita yang ada di dalam masjid mengenakan pakaian sholatnya. Saya komandokan mereka bertakbir mengagungkan nama Allah SWT. Allahu Akbar ! Allahu Akbar ! Allahu Akbar ! Gemuruh takbir kian lama kian kompak bergemuruh. Takbir yang diteriakkan oleh jiwa yang pasrah dan sungguh-sungguh mengharap pertolongan Allah membahana hingga ke luar masjid. Warga di Gang Diponegoro dan Batu Merah yang terletak di dekat Al-Fatah menangis saat mendengar takbir yang begitu memilukan. Kita bertakbir dari pukul 23.00 hingga 01.00 malam.

"Di malam yang penuh ketakutan itu, orang-orang yang berada di sekitar Masjid tiba-tiba dikejutkan oleh sebersit cahaya terang berwarna biru yang jatuh dari langit. Bola cahaya itu membelah kepekatan malam, meluncur tepat di atas Masjid Raya Al-Fatah. Entah apa sebabnya, tiba-tiba angin berbalik arah dan berhembus amat sangat kencang. Yang tadinya bertiup ke arah Masjid, kini berbalik seratus delapan puluh derajat menuju Gereja Silo. Seandainya angin masih tetap meniup ke arah Masjid, bukan tidak mungkin seluruh rumah Muslim akan habis. Tapi dengan ijin Allah SWT angin itu berbalik, dan akhirnya membakar Gereja Silo yang berjarak kurang lebih tiga ratus meter dari Al-Fatah".
Curangnya Pemda Ambon, khususnya petugas pemadam kebakaran, mereka telah memarkir dua unit mobil pemadam kebakaran di samping Gereja Silo, namun tidak di Masjid Al-Fatah. Mereka memadamkan api yang menjilat Gereja Silo.

Kita di Masjid tetap mengumandangkan takbir. Itu membuat orang-orang kafir makin kalap. Mereka kian bengis menyerang kita. Seorang pengungsi berkata kepada saya, "Ustadz, hentikan takbir. Mereka makin kalap menyerang". Takbir sejenak kita hentikan. Namun setelah berhenti, mereka tetap menyerang kita. Takbir akhirnya kita lanjutkan. Kita kembali menyusun pertahanan. Dengan takbir tersebut, kita memompa semangat jihad kawan-kawan. Mereka akhirnya bisa kita pukul mundur.
"Entah mengapa, seiring dengan terpukulnya pasukan kafir itu, angin kembali bertiup kencang menuju Gereja Silo. Api kembali membakar gereja itu". Mobil-mobil pemadam kebakaran-pun berusaha keras memadamkan api kembali. Itu terjadi pada malam Jum'at, 22 Januari 1999. Kita tidak bakar gereja, mereka sendirilah yang membawa-bawa api.


Ribuan Mujahidin Berjubah Putih

Pada hari Jum'at, 23 Januari 1999, masyarakat Desa Hitu - kurang lebih berjarak 25 km dari Ambon - ingin pergi ke Ambon bergabung dengan Muslim lainnya membela Agama Allah yang telah diinjak-injak kaum kafirin. Mereka baru mengerti, pengiriman orang-orang Nasrani dari kampung-kampung ke Ambon sebelum 'Iedul Fitri ternyata mengandung rencana busuk. Pada Hari Raya, jumlah Muslimin di Ambon berkurang drastis karena banyak yang mudik. Sedang orang-orang kafir bertambah banyak. Itu sebabnya mereka berani menyerang umat Islam.

Kabar yang beredar di masyarakat Desa Hitu dan sekitarnya menyebutkan bahwa dalam penyerangan Kamis malam, Masjid Raya Al-Fatah telah membakar dan saya - Imam Masjid tersebut - telah terbunuh oleh orang-orang Kristen. Kaum Muslimin Desa Hitu itu berkata, "Kalau Masjid Raya telah terbakar dan Ustadz telah terbunuh, untuk apa lagi kita hidup ! Mari bersama-sama kita jihad fi sabilillah !"
Di Ambon, jika orang ingin jihad fi sabilillah, mereka melakukan upacara ritual dulu: mereka mandi membersihkan segala najis yang mungkin masih melekat di sekujur tubuh, disusul dengan berwudhu, lalu mengenakan baju perang berupa jubah putih - dari Desa Hitu, Mamala, Maurela, dan Wakal - yang berjumlah sekitar empat puluh orang mulai bergerak. Mereka tidak banyak. Orang yang sungguh-sungguh siap untuk jihad fi sabilillah bukanlah orang sembarangan. Mereka harus mengerti betul apa hakikat jihad fi sabilillah tersebut.

Setibanya di Paso, mereka dihadang barikade pasukan Brimob. Pasukan Brimob itu memberi tahu bahwa Masjid Raya Al-Fatah tidak terbakar. Namun pemberitahuan itu tidak membuat pasukan jubah putih itu surut langkah. Mereka telah siap berjihad. Karena tidak mau kembali ke Hitu, akhirnya pasukan Brimob tersebut melepaskan beberapa tembakan ke arah mereka. "Namun aneh, tak sebutir peluru pun sanggup menembus jubah putih mereka. Peluru terakhir yang ditembakkan malah mental dan berbalik menuju aparat yang menembaknya. Ini diakui oleh si penembaknya sendiri".
Anggota Brimob itu menuturkan, "Setelah menembak mereka, peluru itu langsung mental, berbalik ke saya. Untung saya cepat menghindar. Setelah itu seluruh badan ini bergetar hebat. Gemetar. Senjata yang saya pegang jatuh. Akhirnya saya bilang sama komandan dan bahwa mereka ini bukan orang-orang biasa". Dalam penglihatan pasukan Brimob itu, empat puluh orang pasukan jubah putih tampak berjumlah ribuan orang. Empat orang tua berjubah dan bersorban putih yang duduk di atas empat kuda putih tampak memimpin pasukan besar tersebut. Padahal orang-orang muslim itu tidak melihat siapa-siapa selain keempat puluh warga Desa Hitu dan sekitarnya itu, dan tidak satu pun yang mengendarai kuda.

Setibanya di pinggiran Ambon, mereka dihadang tentara lagi. Mereka dinasehati agar kembali saja ke Hitu, sebab Masjid Al-Fatah tidak terbakar dan Ustadz Abdul Aziz masih hidup. Setelah mengecek kebenaran berita itu, akhirnya mereka pulang dengan damai. Dalam perjalanan pulang ke Hitu, mereka dihadang orang-orang Kristen. Terjadilah pertempuran hebat. Dalam waktu singkat seluruh orang-orang kafir itu berhasil ditumpas. Pertempuran itu menyebabnya seluruh perkampungan kafirin dan sejumlah gereja. Andai saja pasukan jubah putih itu tidak dihadang dan diserang, hal tersebut tidak akan pernah terjadi. Siapa menabur angin akan menuai badai.


Jundullah Cilik

Ada pula kejadian di belakang Kota, ini nama suatu perkampungan Arab di Ambon, tempat penjualan kayu. Pada malam kelima, perkampungan itu juga diserang musuh. Padahal banyak penghuni kampung tersebut telah mengungsi. Ketika diserang, kampung belakang Kota waktu itu hanya dihuni beberapa pemuda. Walau demikian, serangan kaum kafirin itu tidak menggetarkan pemuda-pemuda Muslim. Mereka melawan dengan gagah berani sambil meneriakkan takbir. Disebabkan kalah dalam segi jumlah personil maupun senjata, lama-kelamaan para pemuda itu terdesak. "Namun, lagi-lagi kejadian aneh terjadi. Para penyerang yang jumlahnya sangat banyak itu tiba-tiba mundur dan lari tunggang-langgang".
"Esok paginya orang-orang ramai membicarakan hal tersebut. Dari penuturan para penyerang, tersiar kabar bahwa mereka mundur disebabkan adanya segerombolan kanak-kanak kecil berbaju dan bersongkok putih. Kanak-kanak itu dipimpin seorang tua berjubah serba putih dan memegang tongkat. Pasukan serba putih itu menyerang mereka dengan gagah berani. Sama seperti yang mereka lihat di Masjid Raya Al-Fatah beberapa malam lalu". Mereka berkata, "Kita heran dengan orang-orang Islam. Kita sudah punya peralatan, rencana, dan senjata yang begitu kuat, kesiapan yang lengkap, ternyata itu semua tak sanggup untuk menghancurkan mereka. Entah, kanak-kanak itu datangnya dari mana".
Dalam kerusuhan Ambon, target bunuh pertama orang-orang Kristen itu adalah para ulama, lalu orang-orang Arab, pemuka-pemuka Islam, yang keempat barulah BBM (Buton, Bugis, Makasar). Ternyata setelah 'BBM' ini banyak yang mengungsi ke kampungnya, ternyata orang-orang Kristen itu tetap memerangi orang-orang Ambon yang Muslim. Ini terjadi di Pelauw. BBM ternyata bukan sekedar Buton, Bugis, Makasar, tapi lebih kepada "Bakar, Bunuh Muslim" ! Itu pengertian BBM sekarang ini, sebab hal tersebut terus saja berjalan. Keadaan di sana masih mencekam, terutama di Paso, sekitar delapan kilometer dari Kota Ambon.


Tragedi Bosnia terulang di Ambon

Ujian yang dialami kaum Muslimin di Karang Tagepe tidak kalah beratnya. Rumah dan kampung mereka habis dibakar oleh orang-orang kafirin. Di sana, menurut mereka, wanita-wanita Muslimah yang sedang hamil dibedah perutnya. Lalu dikeluarkan janinnya, dan dicincang-cincang. Anak-anak kecil yang lari ketakutan dan berusaha menyelamatkan diri ditangkapi lalu dilempar ke dalam api yang menyala. Jerit tangis bocah-bocah mungil itu sangat menyayat hati. Perlakuan iblis itu dilakukan orang-orang Nasrani di sana atas nama agamanya. Gadis-gadis Muslimah diperkosa beramai-ramai. Payudaranya ditoreh tanda salib dengan parang, lalu dipotong. Setelah puas, barulah dibunuh. Banyak di antara para Muslimah yang sudah syahid sebelum dibunuh kaum kafirin. Rasa sakit yang tak terperikan menghentikan detak jantungnya. Semoga Allah SWT berkenan menerima mereka di syurga seperti dijanjikanNya.

Kejadian yang berlangsung di Rumah Sakit Umum (RSU) di daerah Kudamati juga memilukan. Karena terjadi penyerangan di hari pertama, banyak orang Islam terluka. Mereka dibawa ke RSU di Kudamati. Walau mereka tahu Kudamati merupakan basis Nasrani, namun mungkin disebabkan lebih dekat maka mereka ke sana. Para penyerang itu diberitahu bahwa orang Islam banyak yang dirawat di RSU tersebut. Akhirnya orang-orang Nasrani itu menyerang RSU. KTP-KTP pasien digeledah untuk mengetahui pasien tersebut Islam atau non-Islam. Jika si pasien Islam maka langsung dibantai. Ibu-ibu hamil yang ada di rumah sakit itu pun banyak yang hilang. Mendengar kejadian tersebut, akhirnya banyak orang yang berobat ke Rumah Sakit Bersalin (RSB) yang ada di dalam kompleks Masjid Raya Al-Fatah. RSB Al-Fatah beralih fungsi menjadi Rumah Sakit Umum.

Di hari pertama kerusuhan pula, bertepatan dengan 'Iedul Fitri 1 Syawal 1419 H , nasib naas menimpa satu keluarga dengan dua orang anak yang tinggal di Deswa Wayane. Berawal dari suasana gembira lebaran, mereka silaturahmi ke rumah salah seorang saudara mereka yang juga merangkap toko di Pasar Mardika. Pasar itu kemudian dibakar. Dengan cepat suasana yang tadinya gembira berubah drastis menjadi suasana yang sangat mencekam. Terjadi keributan di Batu Merah, Mardika, dan tempat lainnya. Akhirnya keluarga ini pun tidak bisa pulang ke rumahnya di Desa Wayame.


Esoknya, kerusuhan meluas. Tengah malam Pasar Mardika dibakar. Sang bapak menuntun ibu dan dua anaknya yang masih kecil-kecil menyelamatkan diri dari kobaran api. Mereka berlindung di sebuah rumah yang tidak jauh dari Pasar Mardika. Pagi harinya mereka menyempatkan diri untuk sholat Dhuha dan berdo'a agar diselamatkan Allah SWT dari ketakutan ini. Dua jam mereka memanjatkan sholat dan berdo'a, sampai pukul 9.00 pagi. Setelah itu satu keluarga ini keluar menuju jalan raya. Sang bapak menggendong anak sulungnya di pundak, sedangkan ibunya menggendong si bungsu. Di jalan yang berada di pinggir laut, suasana sangat kalut dan mencekam. Keluarga ini berlari kecil menuju arah desanya. Si bapak dengan tangan terangkat ke atas memegangi anaknya yang duduk di pundaknya. Tiba-tiba, saat mereka sedang berlari, ari arah yang berlawanan segerombolan anak muda memanggil-manggil mereka dengan panggilan yang bersahabat. Di tangan mereka tergenggam parang, tombak, dan persenjataan lainnya. Si bapak yang baik hati ini mendengar panggilan itu dan berbaik sangka, dikiranya anak-anak muda itu akan menolongnya. Maka berlarilah keluarga ini mendekat ke mereka.
Dengan terengah-engah keluarga ini menghampiri anak-anak muda itu. Sebuah pertanyaan tiba-tiba terdengar dari mereka: "Islam atau Kristen !?" Dengan refleks si bapak menjawab, "Islam". Dalam sekejap mata sebuah parang yang panjang dan tajam disabetkan ke pinggang si bapak yang tangannya masih terangkat memegangi anak sulungnya. Si bapak menjerit dan tersungkur. Anaknya pun jatuh tak jauh dari bapaknya. Berikutnya terjadilah drama seram yang disaksikan oleh ibu dan kedua anaknya. Si bapak berlutut dan mengiba-iba, tangannya terangkat tinggi-tinggi, "Tolong jangan lukai saya. Saya tidak bersenjata " Tapi jawaban yang diterima malah sebuah balok kayu yang tepat menghantam kepalanya. Sang bapak jatuh tersungkur. Secepat kilat sebilah parang membelah kepalanya, diikuti puluhan parang dan tombak yang mencincang tubuhnya. Sungguh pedih penderitaan yang harus dialami keluarga tersebut. Dengan sigap, sang ibu menggendong kedua anaknya dan berlari menjauhi tempat tersebut dan bersembunyi di sebuah gudang hotel. Ia terpaksa meninggalkan suami tercinta dan anak kedua anaknya itu. Alhamdulillah, mereka selamat.

Peristiwa mengenaskan terjadi di sebuah SMEA pada hari ketujuh setelah kerusuhan. Siswa dan siswi yang Islam pada waktu itu disuruh bersembunyi oleh guru-guru mereka yang Kristen, "Hai kamu sekalian bersembunyi saja di satu ruangan. Kalau orang-orang itu tahu akan habisi kalian ini". Akhirnya para siswa-siswi itu bersembunyi di satu ruangan kelas. Ternyata ada guru lain, Kristen, yang memberi tahu para penyerang bahwa di sekolah tersebut ada anak-anak Islam yang tengah bersembunyi. Akhirnya orang-orang Kristen itu mendatangi SMEA tersebut dan membantai semua siswa-siswinya yang beragama Islam.

Dalam melakukan penyerangan, orang-orang Kristen itu bersenjata sangat lengkap. Dari jauh mereka menggunakan panah. Setelah agak dekat menggunakan tombak. Lebih dekat lagi memakai parang. Sedang kita semua tidak punya itu. Kita tidak memiliki niat untuk melakukan hal yang jelek. Karena mereka menyerang kita, maka kita membalas dengan bersenjatakan apa saja. Ada yang pergi ke dapur lalu menjumpai pisau, pisau itulah yang dipergunakan. Ada golok kita pakai, ada bambu kita runcingkan.
Mereka memakai kain merah dan ungu yang diikatkan di kepalanya. Yang berwarna merah bertugas melakukan penyerangan. Sedang yang berikat kepala ungu malakukan penghancuran. Terlihat jelas adanya koordinasi di antara mereka. Dalam kerusuhan Ambon, orang-orang Cina selamat. Saya melihat, pada saat terjadinya penyerangan, orang-orang Cina itu mengeluarkan saputangan putih yang di pinggirnya berwarna merah. Itu membuat mereka tidak diserang. Semua pertokoan Muslim terbakar, sementara toko mereka selamat. Di pasar Mardika, di satu tempat yang merupakan terminal, ada Batu Merah, Galunggung, dan sebagainya itu, semua punya Cina dan tidak terbakar. Di tempat lain, toko-toko Muslim semuanya terbakar. Sebelum penyerangan mereka melihat peta, yang mana pertokoan Muslim dan yang mana punya Cina. Mereka tahu tempatnya.

Banyak warga Ambon yang mengungsi. Tanggal 8 Februari 1999, saya dan kelarga meninggalkan Ambon. Arus pengungsi sangat banyak. Di pelabuhan ada sekitar 16.000 pengungsi yang harus dibawa menuju Buton dan Ujung Pandang. Kapasitas Kapal Siguntang itu hanya 7.000 orang. Karena orang yang harus diangkut terlalu banyak, kapal itu akhirnya mengangkut 9.000 pengungsi. Lebih dari itu kapal akan tenggelam. Itu dari Ambon saja. Sebelumnya dari Banda, dari Tual, banyak kapal-kapal sudah membawa ribuan pengungsi. Saya dan keluarga berjalan dari bawah ke atas kapal itu memakan waktu tiga jam ! Padahal jika normal paling satu menit sudah sampai. Itu disebabkan membludaknya jumlah pengungsi. Barang-barang tidak bisa lagi kita jinjing, itu semua harus dikerek ke atas kapal.
Kaum Muslimin Buton, Bugis, dan Makasar yang pulang ke daerahnya sesungguhnya hanya untuk mengantar anak dan istrinya saja ke tempat tinggal yang aman. Setelah itu mereka akan kembali semua ke Ambon bersama sanak famili yang laki-laki. Mereka akan mempertahankan Ambon Ambon sampai tetas darah terakhir. Mereka sudah bertekad untuk jihad fi sabilillah. Mereka bilang sama saya, "Ustadz, kita ini orang yang sudah banyak dosa. Kapan lagi kita akan menemukan hal yang seperti ini. Agama kita dihina. Harga diri umat Islam sudah diinjak-injak. Nabi Muhammad sudah dicaci-maki. Kapan lagi saya mau membela jika bukan sekarang !"

Kaum Muslimin yang belum ke luar Ambon kini tinggal di rumah-rumah orang Islam yang rumahnya tidak terbakar. Yang terbakar, mereka masih mendiami Taman Hiburan Rakyat Waihao, Masjid Raya Al-Fatah, Wayami, dan sebagainya. Orang-orang Islam rata-rata mendapat luka di tangan. Ada pula yang di kaki. Rata-rata kena panah. Agaknya panah-panah itu diberi racun, karena banyak yang tetanus setelah kena panah. Ada juga yang kena parang.

Hari Sabtu, hari kelima setelah kerusuhan, para pemuka Islam menghadap Kapolda dan minta izin, "Bila kita seperti ini terus, sampai kapan keadaan ini akan tuntas. Tolong, izinkan kami untuk berhadapan langsung dengan mereka. Izinkan kami untuk bertempur dengan orang-orang Nasrani itu. Kami hanya minta waktu empat jam. Jika mereka menang dalam pertempuran selama empat jam itu, kita umat Islam akan keluar dari Ambon. Tapi kalau mereka kalah, mereka harus keluar dari Ambon, dan Ambon untuk orang Islam". Itu sudah kami lakukan, tapi aparat tidak mengijinkan.
Kita terpaksa melakukan hal itu sebab aparat sangat tidak adil.Mereka memihak. Yang paling memihak adalah aparat kepolisian dan Brimob yang kebanyakan Kristen. Aparat yang Islam 'kan sedang cuti, mudik lebaran. Ketika orang Kristen yang menyerang dibiarkan, tapi giliran kita mau membalas, mereka melepaskan tembakan. Malah ada orang kita yang ditembak mereka dan meninggal. Itu terjadi di hari kedua.

Mayat-mayat yang mereka bantai tidak bisa kita lihat, sebab banyak yang terjadi di daerah mereka. Di Kudamati, misalnya, pada hari kelima kerusuhan, ada kejadian sedih yang menimpa orang Waihao. Ada pengusaha ikan, namanya Haji Lasanu. Orang Buton ini disuruh bosnya yang Taiwan untuk mengambil uang di Mangga Dua, basis Kristen. Dia mengajak anak buahnya empat orang dan seorang anaknya, Musthofa yang baru berumur 17 tahun. Sebenarnya Musthofa ini sedang tidur, tapi dibangunkan ayahnya. Sang isteri melarangnya mengajak anak itu. Tapi Haji Lasanu tetap bersikeras. Akhirnya berangkatlah mereka berenam ke Mangga Dua.

Ketika berangkat dan sampai di sana tidak ada kejadian apa-apa. Begitu akan turun, anak dan empat anak buahnya di mobil terdepan, sedang ayah satu mobil dengan bossnya di belakang. Di tengah perjalanan, sang bos ini lupa membawa handphone-nya, entah disengaja atau tidak, akhirnya satu mobil kembali ke Mangga Dua. Mobil anaknya terus turun. Di tengah perjalanan, mereka dihadang orang-orang Nasrani, orang di mobil tersebut tidak dapat berbuat apa-apa, sebab jumlah penghadang jauh lebih banyak. Kelima orang itu langsung dibunuh oleh kafirin. Setelah dibunuh, mayatnya dipotong-potong. Kepalanya dipisahkan dari lehernya, pangkal tangannya juga dipisahkan dari badannya. Para penyerang itu kemudian menghancurkan mobil, menyiramkan bensin, dan membakarnya. Mayat yang sudah hancur itu dilemparkan begitu saja ke api yang tengah menyala. Kejadian ini disaksikan banyak orang, berlangsung di tengah jalan raya.


Di rumah, sang ibu sudah cemas sebab sampai sore anaknya tidak juga pulang. Di malam hari terdengar kabar bahwa anaknya itu telah dibunuh dan dibakar. Dua hari setelah kejadian itu, ada kabar mayatnya akan dibawa ke Waihao. Di Waihao sendiri telah disiapkan kain kafan, dan lima liang kubur telah digali di sekitar rumah. Kita tidak mungkin menguburkannya di pekuburan Islam sebab terletak di Mangga Dua, daerah Kristen. Pekuburan tersebut sebenarnya tanah wakaf. Namun sampai saat ini surat-suratnya belum diterbitkan, sebab pejabat-pejabat yang berwenang kebanyakan Kristen. Akhirnya tanah itu diduduki orang Kristen. Merka buat gereja, buat rumah di atas tanah itu. Dari siang hingga tengah malam, kelima jenazah itu tidak juga didatangkan. Sebenarnya itu tiak mungkin. Untuk menenangkan keluarga Waihao itu, pihak kepolisian mengatakan pada mereka bahwa kelima korban itu sudah dikuburkan secara Islam. Padahal itu tidak benar.

Penyerangan orang-orang Nasrani kepada umat Islam di Ambon dan sekitarnya bukanlah tindakan kriminal murni. Mereka melihat itu sebagai bagian dari perang sucinya. Semestinya umat Islam dari luar Ambon - tanpa diminta oleh kita - wajib datang, merasa terpanggil. Sebab bukankah kita bersaudara ? Rasulullah saw mengatakan bahwa kita ini ibarat satu tubuh. Satu bagian yang dicubit maka sakitlah seluruh badan. Kita sekarang amat sangat butuh bantuan dari saudara-saudara seiman. Terutama untuk membangkitkan rasa percaya diri dan semangat jihad. Jika umat Islam sudah memiliki kepercayaan diri, kemudian dibangkitkan "izzatun nafs"-nya, insya Allah, walau tidak ada bantuan dari luar Ambon, kita, umat Islam di Ambon bisa mengatasi mereka. Kalau saja aparat memberi izin kita untuk bertempur dengan orang-orang kafir itu selama empat jam saja, secara adil, maka insya Allah, kita yakin bisa mengatasi mereka semua. Namun kita tetap membutuhkan bantuan dari saudara-saudara seiman di luar Ambon.